Sunday, June 30, 2013
PANCASILA SEBAGAI PARADIKMA PEMBANGUNAN
PANCASILA SEBAGAI PARADIKMA PEMBANGUNAN
1.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus
ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik.
Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan
tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem
politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasarkan hal itu, sistem politik Indonesia
harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan
selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada
sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik
Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral
persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun
penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila sebagai
paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat
sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan
menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat
dilihat secara berurutan-terbalik:
•
Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,
agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang
ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan
masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai
asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna
industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral
baru masyarakat informasi adalah:
~ nilai
toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
2.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam
pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai
moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada
dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II
Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan
menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang
menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk
pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda
dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian
pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi
dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila
bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena
itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi
yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi
yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan
kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari
nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan
diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang
hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan
warga negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu
pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan
ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus
mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh
warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak
pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih
memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan
program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu
memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis,
transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
3.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik
karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu
sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan
harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam,
brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia
adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara
fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus
dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap
budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka
merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan
sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa
paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya
perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang
terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak
asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku
bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan
regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin
keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah
NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai
Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai
kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan – kebudayaan di daerah:
(1) Sila
Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun
golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan
terhadap Tuhan YME
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
4. Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini
mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara
negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar
tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh
komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya,
serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan
sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban
warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan
nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak
dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima
bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah
memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok
materi-muatan konstitusi, yaitu:
(1)
adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya
terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945
atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia
mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat
dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah
oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk
perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus
mengacu pada dasar negara (sila – sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai
paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan
sila-sila:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang
dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang
terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter
produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan
aspirasi rakyat).
5.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang
ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di
mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan
plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun
terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia
kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai
dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang
bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti
semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran
yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut
sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna
terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya
adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari
banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima
prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa
homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan
yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan
masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari
kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat
Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya
masyarakat yang mencoba untuk membina kerukunan antar masayarakat. Lahirnya
lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di
Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli,
Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup
antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu
membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah
interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian,
pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar
manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya.
Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai
manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
1.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus
ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik.
Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang
bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan
tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem
politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasarkan hal itu, sistem politik Indonesia
harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan
selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada
sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik
Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral
persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun
penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila sebagai
paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat
sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan
menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat
dilihat secara berurutan-terbalik:
•
Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,
agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang
ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan
masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai
asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna
industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral
baru masyarakat informasi adalah:
~ nilai
toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
2.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam
pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai
moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada
dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II
Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan
menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang
menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk
pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda
dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian
pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi
dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila
bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena
itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi
yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi
yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan
kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari
nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan
diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang
hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan
warga negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu
pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan
ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus
mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh
warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak
pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih
memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan
program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu
memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis,
transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
3.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik
karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu
sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan
harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam,
brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia
adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara
fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus
dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap
budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka
merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan
sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa
paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya
perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang
terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak
asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku
bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan
regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin
keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah
NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai
Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai
kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan – kebudayaan di daerah:
(1) Sila
Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun
golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan
terhadap Tuhan YME
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
4. Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini
mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara
negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar
tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh
komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya,
serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan
sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban
warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan
nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak
dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima
bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah
memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok
materi-muatan konstitusi, yaitu:
(1)
adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya
terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945
atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia
mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat
dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah
oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk
perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus
mengacu pada dasar negara (sila – sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai
paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan
sila-sila:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang
dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang
terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter
produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan
aspirasi rakyat).
5.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang
ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di
mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan
plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun
terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia
kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai
dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang
bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti
semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran
yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut
sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna
terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya
adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari
banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima
prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa
homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan
yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan
masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari
kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat
Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya
masyarakat yang mencoba untuk membina kerukunan antar masayarakat. Lahirnya
lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di
Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli,
Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup
antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu
membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah
interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian,
pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar
manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya.
Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai
manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
- See more at: http://www.komputerseo.com/2010/12/cara-memasang-gambar-animasi-lucu-di.html#sthash.4HAizZAx.dpuf
Blog Archive
-
2013
(20)
- July(1)
-
June(19)
- ALEL GANDA
- ENZIM YANG BERPERAN DALAM PRODUK OLAHAN PETERNAKAN
- PERENCANAAN PEMBUATAN KANDANG SAPI PERAH
- TUGAS BIOLOGI
- SISTEM PEREDARAN DARAH PADA MAMALIA
- cara budi daya ayam petelur
- TUGAS KOMPUTER
- ASAM AMINO ESENSIAL DAN NON ESENSIAL
- SEGMENTASI PASAR
- KEGUNAAN ENZIM
- PERKANDANGAN
- DASAR MANAJEMEN
- PETERNAK
- tugas biologi
- PEMELIHARAAN AYAM BROILER
- PANCASILA SEBAGAI PARADIKMA PEMBANGUNAN
- Recording Sapi DDMT
- SISTEM PEREDARAN DARAH PADA MANUSIA
- bahan pakan ternak
About Me
Powered by Blogger.
Blog Archive
-
▼
2013
(20)
-
▼
June
(19)
- ALEL GANDA
- ENZIM YANG BERPERAN DALAM PRODUK OLAHAN PETERNAKAN
- PERENCANAAN PEMBUATAN KANDANG SAPI PERAH
- TUGAS BIOLOGI
- SISTEM PEREDARAN DARAH PADA MAMALIA
- cara budi daya ayam petelur
- TUGAS KOMPUTER
- ASAM AMINO ESENSIAL DAN NON ESENSIAL
- SEGMENTASI PASAR
- KEGUNAAN ENZIM
- PERKANDANGAN
- DASAR MANAJEMEN
- PETERNAK
- tugas biologi
- PEMELIHARAAN AYAM BROILER
- PANCASILA SEBAGAI PARADIKMA PEMBANGUNAN
- Recording Sapi DDMT
- SISTEM PEREDARAN DARAH PADA MANUSIA
- bahan pakan ternak
-
▼
June
(19)
1 comments:
mari kita bamgun negeri ini dengan 4pilar kebangsaan
MERDEKA!!!
Post a Comment